PKSP FISIP Diskusikan Relokasi Pasar Dinoyo

Kamis, 02 Agustus 2012 13:53 WIB

Berita UMM
 
Keperihatinan sejumlah tokoh masyarakat terhadap rencana pembangunan dan relokasi pasar Dinoyo menjadi bangunan mall mendorong beberapa diskusi dan kontroversi dari berbagai pihak. Pusat Kajian Sosial dan Politik (PKSP), FISIP UMM menjembatani Malang Corruption Watch (MCW) dan koordinator paguyuban pedagang pasar  untuk menyampaikan aspirasi kepada anggota DPRD kota Malang. Acara yang digelar di ruang sidang FISIP Sabtu (22/10) disaksikan Dr. Wahyudi, M.Si selaku dekan FISIP dan dosen dari beberapa universitas di Malang serta dihadiri Ahmadi, S.Sd., anggota dewan.

Ahmadi, S.Sd. menyatakan bahwa memang benar dewan sudah memberikan persetujuan revitalisasi atas persetujuan komisi A. Meskipun pada prosesnya diwarnai beberapa perbedaan pendapat antar fraksi. “Komposisinya; hingga saat ini ada 16 fraksi yang menolak rencana tersebut dan berpihak pada pedagang, 2 abstain dan 26 lainnya menyetujui upaya pembangunan pasar,” ungkap legislator dari PKS tersebut.

            Dr. Herwintono yang mewakili aspirasi pedagang menyampaikan bahwa pasar Dinoyo sudah ada sejak 1960 dan beberapa kali mengalami perpindahan lokasi sebelum pada posisi sekarang. Sebenarnya, dari kalangan pedagang pada prinsipnya menyetujui adanya perombakan pada pasar tapi tetap dipertahankan sebagai pasar tradisional. Adanya kesalahan manajemen menyebabkan keputusan pada 2005 tidak sesuai dengan kesepakatan 2001 silam.

            “Masalahnya, ketika kita meyampaikan keberatan dengan mengajukan aksi dan protes tertentu tidak pernah diperhatikan oleh pemkot. Makanya minggu besok akan diresmikan majlis tahlil sebagai simbol perlawanan kalau nanti ada pergusuran,” ungkap Herwin prihatin. Harapannya masalah ini segera dituntaskan, karena dengan keadaan sekarang ini, banyak supplier yang takut memberikan barangnya kepada pedagang. Usulan yang diajukan adalah lantai satu dan dua untuk pasar tradisional, sedangkan sisanya diserahkan kebijakan pemkot.

            Beberapa akademisi mengusulkan ada gerakan yang massif dari masyarakat luas untuk menyikapi kasus itu. Seperti diungkapkan Wahyudi, pihak UMM bersedia menjadi mediator bagi semua pihak demi menghasilkan manfaat dan jalan keluar permasalahan. Sejauh hal itu tidak mengancam keberadaan masing - masing pihak.  Ditambahkan oleh Ibnu Tri Cahyono bahwa pihak masyarakat selalu kalah menghadapi kasus semacam itu, seperti kasus Matos dan MOG. Sebagai dosen hukum, Ibnu menghimbau agar tidak terlalu berharap pada hukum karena menurutnya hukum selalu memenangkan ketidakadilan.

            “Benteng terakhir untuk hal semacam ini tergantung pada dewan. Proses hukum tetap harus ada tapi harus didampingi oleh kajian politik, ekonomi, sosial dan budaya terhadap rencana revitalisasi ini”, terang dosen Brawijaya tersebut.  Luthfi J. Kurniawan mengamini serta menyatakan, perlu adaya gerakan bersama dari kalangan pedagang, kampus, ulama serta semua elemen yang mendukung. “Hasil gagasan dari diskusi ini akan menjadi bahan telaah bagi MCW untuk menghasilkan jalan keluar yang kongkret”, papar Lutfi serius. (rwp/trs/jss) 

Shared: