Diskusi adalah roh akademis. Membuka ruang-ruang diskusi adalah membuka kran-kran pemikiran ilmiah dan kemajuan berpikir yang mampu memberikan kontribusi bermanfaat untuk masyarakat. Budaya diskusi ilmiah inilah yang coba digalakkan oleh Pusat Kajian Sosial dan Politik (PKSP) FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. Sejak di awal periode berdirinya, pusat kajian yang berada di bawah naungan FISIP UMM ini konsisten mengadakan diskusi rutin lintas keilmuan di bidang ilmu sosial dan ilmu politik. Tak hanya masalah-masalah kajian klasik keilmuan saja, namun realitas-realitas sosial dengan segenap permasalahannya pun menjadi pusat perhatian dalam diskusi yang diadakan oleh PKSP ini.
Seperti yang diadakan pada 24 Desember 2016 lalu. PKSP menyelenggarakan diskusi ilmiah dengan tema Ancaman Krisis Air di Tengah Industri Pariwisata Berbasis Kapital (Integrated Water Resourced Management). Diskusi yang menyoroti kasus krisis air di beberapa sumber air di Kota Batu ini menghadirkan pakar sekaligus praktisi yang menangani langsung gejolak sosial yang mengiringi krisis air tersebut. Rachmad K Dwi Susilo, M.A, dosen sosiologi FISIP UMM sekaligus pakar sosiologi lingkungan yang selama ini terjun langsung dalam penanganan krisis air ini, hadir untuk menyampaikan sejumlah fakta dan fenomena yang terjadi pada masyarakat Kota Batu tersebut.
Rachmad mengatakan dibalik keberhasilan Kota Batu yang mampu membangun diri menjadi sentra pariwisata andalan Jawa Timur, ada konsekuensi negatif yang mau tak mau harus diantisipasi agar tak berkembang menjadi permasalahan sosial yang lebih pelik. Salah satunya yaitu persoalan lingkungan. Lingkungan menjadi “harga” yang harus dibayar dari pembangunan ini. “Jumlah mata air berkurang karena eksploitasi yang dilakukan tidak memperhatikan kepentingan keberlanjutan. Krisis air sebagai salah satu persoalan penting, akhirnya cepat atau lambat persoalan ini akan menyebar kepada persoalan daya dukung lingkungan dan masalah-masalah sosial lainnya,”jelas Rachmad.
Ada setidaknya empat kasus krisis air yang terjadi dalam kurun waktu 2013-2016. Dimulai dari krisis air warga desa Bulukerto dan Bumiaji yang menolak desa lain untuk mengambil sumber air hingga pada tahun 2016 masyarakat yang tinggal di Desa Oro-Oro Ombo mengeluhkan pemenuhan kebutuhan air domestik. Mereka mendirikan HIPPAM karena PDAM dianggap tidak bisa memberikan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat setempat.Pemerintah dinilai tidak berdaya dalam memberikan jaminan sebuah lingkungan yang baik dan sehat. “Penyebab mendasarnya karena tidak ada sinkronisasi “kebijakan” konservasi air. Pada satu sisi masyarakat dan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) diminta untuk mengambil air dengan sistem perpipaan, tetapi pada sisi lain pengambilan air dengan sumur bor yang dilakukan pihak hotel, restaurant dan pelaku pariwisata tidak terkontrol. Jelas bahwa sistem seperti ini rentan akan menimbulkan resiko-resiko kekurangan air ke depan,”imbuhnya.
Untuk itu sebagai solusi mengatasi persoalan ini, Rachmad mengatakan perlu adanya pengelolaan sumber daya alam terpadu atau dalam bahasa asing disebut sebagai Integrated Water Resource Management (IWRM) yang berbasis pada kearifan lokal wong Batu. “Untuk IWRM yang baik harus diperhitungkan aspek-aspek kultural, struktural dan kelembagaan. Kesemua aspek di atas membutuhkan penguatan-penguatan melalui langkah-langah aksi partisipatoris mengingat IWRM adalah kontestasi kekuasaan antarstakeholders yang membutuhkan langkah-langkah penyesuaian,”tegas Rachmad.
Komitmen yang baik sangat dibutuhkan dalam membangun kesadaran bersama untuk pengelolaan mata air. Trust menjadi keharusan yang harus dimiliki stakeholders. Bentuk-bentuk trust seperti: masyarakat lokal tidak boleh menaruh kecurigaan berlebih kepada pemerintah. Demikian juga pemerintah tidak boleh memandang dirinya “lebih berhak”. Dasar regulasi formal bukan berarti mengesampingkan adat istiadat dan kearifan lokal. Komitmen sama harus dimiliki para pengusaha. Pengusaha tidak bisa melihat sumber daya alam dari sisi bisnis saja. Ia harus membuka diri atas pengetahuan dan kebenaran non profit yang lain.
Untuk membangun komitmen tersebut ada dua isu yang harus disampaikan terus menerus. Pertama, sense of crisis atau kesadaran bahwa penyelamatan mata air adalah kebutuhan penting dan mendesak. Komitmen bisa muncul kalau terjadi komunikasi yang terus menerus. Kedua, kebutuhan berbasis kepentingan. Jika air terkonservasi dengan baik, sebenarnya akan bisa menguntungkan banyak pihak, masyarakat, pengusaha dan juga pemerintah. (wnd)